728x15 Ads

Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme

F_Budi_Hardiman_Sekularisme_Liberalisme_Pluralisme
Buletin Kebebasan Edisi No. 03/V/2007
SEKULARISME, LIBERALISME DAN PLURALISME
F. Budi Hardiman (Dosen STF. Driyarkara) 
Buletin Kebebasan, No. 03/v/2007

Saya akan menjelaskan tiga “isme” yang sejak orde baru memenuhi lanskap politik masyarakat kita, namun  sayang sekali, ketiganya juga kerap disalah mengerti. Yang dimaksud adalah “sekularisme”, “liberalisme” dan “pluralisme”. Para ulama, khususnya yang bersentuhan dengan dimensi kekuasaan, melihat “sekularisme” sebagai lawan main mereka. “Liberalisme”, sekurangnya yang banyak disalah mengerti dinegara kita, lebih dilihat sebagai ideologi ekonomis yang adalah lawan main sosialisme. Dan yang muncul terakhir dan kerap dikaitkan dengan pandangan-pandangan dalam kebudayaan, pluralisme, adlaah lawan main para fundamentalis religius, seperti juga sekularisme. Apakah sebenarnya ketiga “isme” itu? Kita mencoba mengerti ketiganya agar tidak terlalu terburu-buru mengecam atau melaknatkan mereka.
 
Sekularisme
Sekularisme berbeda dari sekularisasi. Distingsi ini perlu ditegaskan agar kita tidak mencampuradukan sebuah proses sosial dengan sebuah ideologi. Sekularisasi adalah sebuah proses pemisahan institusi-institusi dan simbol-simbol religius. Kebijakan-kebijakan Negara yang mengatur sebuah masyarakat tidak lagi didasarkan pada norma-norma agama, melainkan pada asas-asas non-religius, seperti: etika dan pragmatisme politik. Kelahiran Negara nasional dan Negara konstitusional di zaman modern menandai proses ini. Konstitusi Negara modern tidak lagi didasarkan pada doktrin-doktrin religius, seperti pada Negara-negara tradisional di Eropa abad pertengahan, melainkan pada prosedur-prosedur birokratis rasional yang mengakui kesamaan hak dan kebebasan setiap warga Negara.

Mengapa masyarakat modern menempuh jalan sekularisasi? Dalam masyarakat tradisional, ada kesatuan utuh agama dan politik. Otoritas politis berhimpit dengan otoritas religius, sehingga kebijakan-kebijakan politis dilegitimasikan lewat alasan-alasan religius. Pencampuradukan kedua macam otoritas itu merugikan kebebasan, karena (1) Otoritas politis tidak merasa cukup dengan wewenangnya atas wilayah publik dan ingin juga memberikan regulasi dalam ruang privat seperti yang dilakukan oleh otoritas religius, dan (2) pikiran kritis dicurigai sebagai unsure subversive yang melemahkan kepatuhan kepada otoritas. Sekularisasi adalah upaya memberi batas-batas diantara kedua bidang itu dengan memandang keduanya otonom, yakni yang satu tidak dapat direduksi kepada yang lain. Dengan sekularisasi, urusan-urusan religius dianggap beroperasi di dalam ruang privat, tercakup dalam kebebasan subjektif individu untuk menemukan jalan hidupnya. Efek positif sekularisasi adalah toleransi agama, sebab doktrin-doktrin dan nilai-nilai religius tidak lagi dikalkulasi di dalam politik.
 
Kita berbicara tentang sekularisme jika kita memusatkan perhatian kita pada efek negatif sekularisasi. Sekularisasi dapat mendorong kepada ekstrem atau ekses, yakni suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala alas an, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong. Pandangan-pandangan seperti ateisme, materialisme dan saintisme merupakan berbagai aspek dalam sekularisme. Sekularisme dalam arti ini bukanlah sebuah proses sosial-epistemologis, melainkan sebuah ideologi dengan kesempitan berpikir yang tidak dapat mentoleransi eksistensi agama di dalam masyarakat majemuk. Jika agama menghasilkan fundamentalisme religius, proses sekularisasi juga dapat menghasilkan suatu fundamentalisme tertentu, yakni fundamentalisme profane. Itulah sekularisme.
 
Jadi, disini kita dapat mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses yang wajar di dalam modernisasi, karena pemisahan antara agama dan Negara memang diperlukan untuk memungkinkan kebebasan dan keadilan dalam masyarakat majemuk, namun sekularisme harus diwaspadai. Untuk masyarakat kita yang cenderung religius, sekularisme bukanlah ancaman real; fundamentalisme agamalah yang merupakan ancaman real bagi kemajemukan. Yang sebaliknya juga harus dikatakan: sekularisme bukanlah solusi untuk masalah kemajemukan, sebab sekularisme adalah bentuk intoleransi terhadap agama manapun yang merupakan anggota masyarakat majemuk. Yang dibutuhkan masyarakat kita adalah tingkat sekularisasi tertentu (baik secara struktural maupun kutural) agar dapat bersikap “fair” terhadap kemajemukan orientasi nilai di dalam masyarakat kita. Kebijakan-kebijakan politis yang berorientasi agama tertentu, misalnya, tidak dapat begitu saja dijadikan norma publik untuk mengatur keseluruhan masyarakat, karena akan bersikap tidak fair terhadap kelompok-kelompok lain bahkan dalam agama yang sama.
 
LiberalismeLiberalisme adalah ideologi modern parexcellence, karena ia muncul bersamaan dengan modernisasi dan segala pertentangan ideologis dalam masyarakat modern tak lain daripada pertentangan dengan liberalisme, sehingga cerita tentang modernitas tak kurang dari cerita tentang liberalisme dan para lawannnya. Kita dapat mulai dari mana saja untuk menjelaskan liberalisme, namun dalam kaitannya dengan sekularisme dan pluralisme, kita harus mulai dari satu dimensi sosial yang lalu menentukan hubungan antara agaman dan Negara, yaitu pasar dan hak-hak milik pribadi. Minat liberalisme adalah kebebasan dan bentuk kebebasan yang spesifik di sini adalah kebebasan indvidu. Dalam arti ini, liberalisme sangat sensitif terhadap kolektivisme dan absolutisme kekuasaan.
 
Ekonomi tidak dapat tumbuh jika terus diintervensi oleh Negara, maka leiberalisme sejak awal mendukung ekonomi pasar bebas. Di dalam pasar orang tidak membeda-bedakan latar-belakang agama dan kebudayaan. Yang penting transaksi itu fair. Dengan kata lain, di dalam transaksi orang melihat agama partner transaksinya sebagai urusan privatnya yang tidak relevan untuk proses pertukaran dalam pasar. Pola transaksi yang melihat agama sebagai persoalan privat yang tidak relevan untuk proses pertukaran itu oleh liberalisme diaplikasikan di dalam hubungan yang lebih luas, yaitu di dalam Negara modern.
 
Di dalam diskusi etika kontemporer, kerap dikatakan bahwa liberalisme membedakan antara the problem of justice dan the problem of good life. Yang pertama adalah masalah-masalah yang melampaui kelompok-kelompok atau nilai-nilai etnis dan religius, seperti masalah ekonomi, masalah keadilan distributive dan masalah-masalah teknis praksis pengelolaan manajemen birokrasi Negara. Yang kedua adalah masalah-masalah nilai-nilai spesifik suatu kelompok etnis atau religius tertentu di dalam sebuah masyarakat modern, seperti ajaran-ajaran agama, nilai-nilai tradisi kutural, atau norma-norma yang terkait dengan komunitas partiklar tertentu. Kepercayaan sebuah komunitas agamaakan keselamatan melalui kepatuhan pada norma-norma agamanya, misalnya, bagi liberalisme adalah the problem of good life yang tidak bisa diuniversalkan sebagai keyakinan publik dalam masyarakat majemuk. Jadi, jika pemerintah menetapkan aturan-aturan agama tertentu bagi masyarakat luas yang juga terdiri atas para penganut agama lain, pemerintah semacam ini bertindak di luar wilayah kewenangannya. Wilayah kewenangan pemerintah hanyalah berurusan dengan the problem of justice yang menjadi kepentingan bersama yang menjadi interseksi kepentingan-kepentingan berbagai orientasi nilai dalam masyarakat majemuk.
 
Liberalisme ekonomi mengandung bahaya tertentu, yaitu intoleransi terhadap mereka yang dimarginalisasikan secara ekonomis oleh mekanisme pasar bebas itu. Namun liberalisme yang berkaitan dengan pendirian intelektual dan sikap-sikap politis justru membantu sebuah masyarakat untuk toleran terhadap kemajemukan. Jika Negara berkonsentrasi pad the problem of justice dan tidak mengintervensi the problem of good life yang adalah kewenangan kelompok-kelompok dalam masyarakat itu, Negara akan menjadi milik bersama kelompok-kelompok sosial itu dan tidak bersikap diskriminatif. Negara liberal berupaya bersikap netral terhadap agama-agama di dalamnya. Dan ini justru mendukung kebebasan individu. Di sini liberalisme dapat juga dilihat sebagai hasil dari sekularisasi yang tidak secara mutlak perlu bermuara pada sekularisme. Artinya, suatu Negara liberal tidak harus sekularistis, yakni ingin menyingkirkan agama di dalamnya. Negara liberal juga bisa memiliki resprk terhadap agama, namun regulasi-regulasinya tetap secular. Ia bersikap netral dari agama, namun member infrastruktur yang adil bagi agama-agama untuk berkembang, sebab para anggota agama-agama itu adalah juga warga negaranya. Adalah terlalu terburu-buru dan berlebih-lebihan mengecam liberalisme sebagai ancaman. Liberalisme justru merupakan kondisi bagi toleransi dan apa yang sebantar lagi kita ulas: pluralisme.
 
Pluralisme
Jika sekularisme berkonfrontasi dengan agama dan liberalisme bersentuhan dengan pasar, pluralisme adalah sebuah pandangan yang beroperasi di dalam kebudayaan dalam bentuk sikap-sikap yang menerima kemajemukan orientasi-oriesntasi nilai di dalam masyarakat modern. Dasar pluralisme adalah the fact of plurality, yakni suatu kenyataan bahwa jika sebuah masyarakat mengalami modernisasi, masyarakat itu mengalami pluralisasi nilai di dalam dirinya. Sekularisasi adlah langkah pertama bagi pluralisasi itu, karena sekarang bidang politik dan agama tidak lagi satu bidang melainkan dua. Namun langkah berikutnya: bidang privat, yaitu masyarakat itu sendiri lewat liberalisasi berpikir dan liberalisasi moralnya, mengalami pluralisasi, karena terbantu aneka ragam kelompok sosial dengan macam-macam nilai religius dan kutural di dalamnya.
 
Pluralitas tidak serta merta memunculkan pluralisme, karena tidak semua orang setuju pluralitas. Kaum konservatif dan monatis, misalnya, akan meratapi pluralitas sebagai simtom disintegrasi sosial dan moral. Namun ada kelompok-kel0mok yang menerima pluralitas sebagai kenyataan hidup bersama dan mencoba hidup bersama secara toleran. Kelompok-kelompok ini bisa berasal dari kalangan agama, cendekia, politikus, atau budayawan. Pandangan yang menerima pluralitas sebagai sebagai realitas hidup bersama dan mencoba mengembangkan sarana-sarana moral dan intelektual untuk membuka ruang kebebasan dan toleransi bagi aneka orientasi nilai etis, religius ataupun ataupun politis di dalam masyarakat modern itu kan sebut pluralitasme.
 
Jika kita menilik ke belakang, ke dalam sejarah agama-agama itu, kita tidak dapat memisahkan agama dari kebudayaan. Setiap agama “tertanam” dan tumbuh dalam konteks kebudayaan dan juga sejarahnya, maka pluralitas juga menandai sejarah setiap agama. Tidak hanya satu Kristen, satu Hindu, satu Islam atau satu Budhisme, karena di tiap kebudayaan berkembang cara-cara dan simbol-simbol spesifik dalam menghayati Tuhan. Simbol-simbol itu bahkan ‘dipinjam’ dari konteks kebudayaan tertentu, misalnya Jawa, Romawi, India atau Arab. Namun tak semua kelompok agama mau bersikap fair terhadap fakta pluralitas di dalam agama-agama ini. Kelompok-kelompok macam ini – diantara mereka konservatif garis keras – terobsesi kepada sebuah fiksi bahwa agama mereka itu homogeny dan murni dari unsure-unsur kebudayaan. Fiksi itu sudah barang tentu berbahaya sekali karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan kebudayaan dan agama.
 
Kelompok-kelompok agama yang menerima fakta kemajemukan bahkan di dalam agama mereka sendiri serta mencoba mengembangkan sebuah teologi pluralis sering dicurigai sebagai sesuatu yang merongrong integritas iman, padahal mereka ini bisa saja justru mendorong cara-cara beriman yang dewasa dan terbuka terhadap perubahan dan perbedaan di dalam masyarakat modern. Mereka dituduh sebagai relativistis. Relativisme adalah pandangan bahwa tidak ada kebenaran mutlak lintas agama dan kebudayaan, karena kebenaran itu tergantung kepada kebudayaan, agama dan sejarah. Padahal seorang pluralis tidak otomatis bersikap relativis.
 
Toleransi Militan
Pada akhir ulasan ini saya ingin mencoba melontarkan sebuah konsep premature tentang toleransi militan. Seorang yang militan tidak harus intoleran terhadap pluralisme nilai. Begitu juga seorang yang toleran tidak harus bersikap relativis dan ‘lunak’ terhadap imannya sendiri. Orang bisa menjadi seorang yang toleran sekaligus militan. Apa maksudnya? Seorang yang memiliki toleransi militan bukanlah seorang yang toleransinya muncul dari sikap laissez faire terhadap imannya sendiri sehingga ia tanpa pendirian bergaul dengan para warga Negara dari iman-iman yang lain tanpa mempedulikan iman-iman mereka pula. Seorang yang toleran secara militan adalah seorang yang menerima fakta kemajemukan orientasi religius, dan penerimaan ini tidak muncul dari ketidakpedulian terhadap imannya sendiri, melainkan justru muncul dari imannya yang dewasa dan terbuka.
 
Toleransi militan bukanlah sikap netral, melainkan suatu pemihakan. Pemihakan kepada apa? Jawabanya adalah: kepada kebebasan dan keadilan. Seorang toleran yang militan mungkin berasal dari kelompok mayoritas, namun ia tidak menggunakan “kuasa mayoritas” (yang tak lain daripada sekedar kuantitas dan bukan kualitas) untuk cukup merasa nyaman dengan posisinya. Sebaliknya, dia justru berhati-hati terhadap posisinya itu yang sangat rentan terhadap distorsi dan penyalahgunaan. Seorang toleran yang militan-dari imannya sendiri- berjuang membuka ruang-ruang kebebasan bagi terwujudnya kehidupan bersama di dalam masyarakat majemuk.

0 komentar:

Posting Komentar

Share